Gunung Slamet
GUNUNG SLAMET
Oleh Sitimdana
“Wuedan kamu No, malah ngajak mendaki neng Gunung Slamet, medeni lho iku,
buanyak mitos neng kono,” ucapku dengan membesarkan kedua bola mata.
“Weh Din, mitos to goran? Hallah, kita ini cowo, aman yo, lagian koe iso percoyo
ngono, opo kamu wes tau rono?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Lho, makane rono sek to, gek ben ngerti mitos tenan opo ora,”
Aku terdiam, masih memikirkan kalimat yang diucapkan oleh Rino. Memang hanya
mitos, tetapi tak banyak kan mitos-mitos yang benar terjadi? Apalagi, aku sering melihat
pengalaman para pendaki yang mengunjungi Gunung Slamet bahwa mereka melihat sosoksosok aneh di sana. Aku mengangkat kedua bibirku, tak apa, ini akan menjadi pengalaman
mendaki yang ekstrem dalam hidupku, setidaknya memang harus dicoba satu kali seumur
hidup.
“Kepie Din, gelem ora?” Tanya Rino memastikan.
“Yowes lah, rapopo, dinggo pengalaman juga,”
Rino tersenyum, dia terlihat lega karena aku ingin ikut mendaki di sana bersama dia
dan teman-teman lainnya. Ia menepuk pundakku berkali-kali, tidak, tidak sakit. Ini hanya
tepukan biasa sebagai tanda keakraban seorang teman.
“Nah, gitu lohh, ngono baru laki,” Godanya.
Aku hanya membalas senyuman kecil, dan melanjutkan perencanaan berangkat
mendaki ke Gunung Slamet bersamanya. Jika dipikir-pikir memang sudah lama kita tidak
mendaki karena tugas sekolah yang menumpuk, seakan tidak pernah selesai. Kita akan
mendaki pada musim liburan tiba, sebentar lagi, hanya tinggal satu… minggu…
Lagi…
Hangatnya matahari pagi ini, menembus kulit terluarku, kini aku menggendong tas
besar yang biasa digunakan oleh pendaki pada umumnya. Aku mengamati rumahku dari luar
setelah mencium punggung tangan ibuku. Aku tersenyum, menghela nafas dengan pelan,
pikiranku kalut, masih dipenuhi dengan kecemasan yang menggebu-gebu. Ditambah lagi,
setelah aku melihat senyum ibuku, takut jika tidak bisa kembali lagi.
Tidak, aku menggelengkan kepalaku. Aku memiliki prinsip, bahwa jika berpikiran
negatif, yang terjadi juga akan seperti itu. Aku akan mencoba untuk berpikir positif, semua
akan baik-baik saja.
Mungkin…
“Ngatos-atos le,” ucap Ibuku dengan melambaikan tangannya kepadaku.
Aku membalas lambaian tangan Ibu, dan beranjak menaiki mesin kuda. Aku harus
segera ke rumah Rino untuk melakukan perjalanan ke Gunung Slamet, agar sampai di sana
tidak terlalu sore. Mengingat jarak ke Gunung tersebut sangat jauh.
Aku melihat pemandangan yang terbatas oleh kaca bening, hanya terlihat pepohonan
di sini, itu menandakan kita sudah memasuki area pegunungan. Tidak seperti di tempatku yang
terdengar suara kendaraan kesana-kemari, di sini sunyi, hanya terdengar suara burung
berkicauan dan suara dedaunan pohon yang saling bergesekan satu sama lain.
“Sepi yo,” ucap Udin membuka suara.
Mobil sedari tadi sunyi, hanya terdengar suara musik yang disetel oleh Rino, mungkin
ia berniat untuk memecahkan kesunyian di antara kami.
“Jenenge wae neng hutan Din, Udin,”
Aku terkekeh mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Dika, terdengar konyol di
telingaku. Lagian Udin juga aneh, mengapa dia bertanya kalimat retoris tersebut?
“Iseh adoh ora e No? Jan, nganti pegel iki bokongku,” bukan bertanya kalimat retoris,
kali ini Udin menggerutu karena tidak sampai juga pada tempatnya.
“Ini kayaknya sebentar lagi sampai Din,” jawab Rino
Aku, Rino, Dika dan Udin terhuyung ke depan akibat hukum Newton I yang terjadi
baru saja, mobil tiba-tiba terhenti. Apakah sudah sampai? Mengapa Rino menghentikan
mobilnya.
“Kamu berhentiin mobil No?” tanyaku
Rino menoleh ke arahku dan menggelengkan kepala
“Kayaknya mogok Din,”
“Wadoh, mana neng tengah hutan iki, ra ono bengkel, gek kepie iki?” tanya Udin
dengan wajah yang terlihat cemas.
“Iki tinggal sekitar 150 meter seko kene, mlaku wae ayo!” ajak Rino
“Walah, lagi Posisi Wuenak e aku iki No,” ucap Dika
Aku melirik ke arah Rino sejenak “Wes, gak papa sekalian pemanasan sebelum
mendaki kan?” aku terkekeh setelah mengucapkan kalimat itu.
“Hooh e Dik, kamu itu kakehan sambat,” ucap Udin
“Halahh Din, sejak tadi di mobil siapa yang sambat? Kamu ini,”
Lagi-lagi aku tertawa karena ulah Udin dan Dika, mereka ini benar-benar seperti
kembar tapi tidak seiras. Aku menjadi curiga, mereka sebenarnya satu rahim di alam dahulu.
“Ngopo e, Aldin dari tadi ketawa terus?” ucap Rino
Aku menggelengkan kepalaku, dan merangkul Rino serta Udin, karena memang
posisinya aku sedang berada di tengah-tengah mereka pada saat ini.
“Ndak kemalaman, gek ayo mlaku saiki bolo,” Ajakku dan berjalan mendahului mereka
bertiga.
Kini aku bersama dengan teman-teman sudah sampai di depan gerbang masuk
pendakian Gunung Slamet. Hawanya terasa berbeda, entah lah, jika diminta untuk
mendeskripsikannya, sejujurnya aku pun tidak tahu harus menjelaskannya dengan gaya apa.
“Aku pergi ke toilet dulu sebentar nggih,”
Aku melangkahkan kakiku setelah teman-temanku mengangguk atas perizinanku.
Toilet berada tak jauh dari gerbang masuk pendakian. Seperti pada perjalanan tadi, di sini terasa
sangat sunyi. Aku memakluminya karena hal seperti ini sudah sering terjadi saat mendaki.
Bukankah memang kita mendaki pada alam bebas bersama makhluk lain yang berwujud
maupun tidak itu? Tetapi, kali ini… aku merasakan hal yang berbeda saat berada disini.
Aku masuk ke dalam kamar mandi setelah melantunkan doa. Tak lama, karena aku
hanya membuang air kecil. Aku membuka pintu kamar mandi, disambut oleh punggung sosok
perempuan. Ia terlihat sedang menimba air sumur yang jaraknya tidak jauh dari kamar mandi.
Rambutnya lurus indah bergerai, ia mengenakan baju berwarna cokelat tua, serta memakai jarik
sebagai rok yang dikenakan.
Ia menolehkan kepalanya, menghadap ke arahku. Aku tersenyum padanya, sebagai
sapaan, ku pikir tidak ada orang yang tinggal di sekitar sini, ternyata ada. Wajahnya putih pucat,
cantik walaupun tertutup oleh luka bakar yang memenuhi pipi kanan miliknya. Aku mengambil
tas yang ada pada kursi, berniat untuk mengajak perempuan itu berbicara setelah aku
mengambil tas. Aku segera membalikkan badanku di saat telah menggendong tas pada
pundakku.
Kepalaku menoleh kesana-kemari, mencari objek sasaran ku, ke mana dia pergi?
Seharusnya jika dia pergi saat aku mengambil tas, punggungnya masih terlihat di sekitar sini,
tetapi, ini sama sekali tidak terlihat sosok sama sekali. Ah, mungkin tertutup oleh pepohonan.
Aku tidak ingin memikirkan ini terlalu pusing, dan segera kembali ke tempat awal.
“Sue temen koe Din, ngopo hayo?” tanya Udin, dia berniat untuk menggodaku.
“Weh, ora ngopo-ngopo aku,”
Aku terdiam sebentar “Eh, tadi kalian ngeliat ada cewe pakai baju cokelat lewat ra?”
tanyaku, aku memang tidak terlalu memikirkannya, tetapi hatiku tidak tenang. Bukankah hal
seperti ini sering terjadi? Karena hati dan otak, tidak berjalan searah.
Rino menggeleng
Dika menggeleng
Udin menggeleng
“Cewe apa e Din? Emange eneng penduduk neng kene?” Tanya Rino yang ikut
kebingungan.
“Kurang tahu, aku juga awale mikir ngono kuwi,”
“Ealah Din, palingan koe halusinasi kuwi, mergo kekeselen,” ucap Rino.
Aku mengangguk, mungkin yang dikatakan Rino benar adanya, tapi tadi aku benarbenar melihat itu secara nyata, bahkan saat dia menatapku, itu terasa bukan semata-mata
halusinasi saja. Kami melanjutkan perjalanan, agar sampai pada pos peristirahatan tidak terlalu
malam.
“Pos Samarantau.” Aku membaca tulisan yang berada pada papan kayu yang terpajang.
Akhirnya kini sampai pada pos peristirahatan. Keringat membasahi tubuhku dan teman-teman.
Matahari terlihat sudah hampir tenggelam, aku melihat benda kecil yang melingkar pada
pergelangan tanganku, sudah jam 5 sore. Sebentar lagi malam akan menyambut, dan tentu aku
beserta teman-temanku harus membangun tenda untuk istirahat malam ini. Kami membangun
tenda dengan mudah, jangan meremehkan anak pendaki, membuat tenda adalah hal yang
sangat mudah. Tidak membutuhkan waktu 30 menit, hanya dalam 19 menit, tenda berdiri
dengan sempurna.
“Aku keliling sekitar sek yo, golek kayu,” ucap Rino
“Tak kancani No,” tawarku
“Hallah, rasah Din, dewe wae kandel aku,”
Aku terkekeh kecil “Yowis, hati-hati No,”
“Hati-hati!” ucap Udin dan Dika berbarengan, setelahnya mereka kembali meributkan
camilan yang dibawa.
Rino mengangguk dan pergi menjauh meninggalkan kami. Wajahku seketika pucat di
saat melihat sosok perempuan yang ku lihat di sumur tadi, berjalan mengikuti Rino. Perempuan
itu menoleh ke arahku, matanya membesar, seakan mengancamku kali ini. Aku langsung
mengalihkan pandanganku dengan perasaan cemas, takut jika Rino tidak bisa kembali dengan
aman ke tempat ini.
“Ngopo Din? Rupamu koyo habis lihat setan saja,” ucap Dika, aku hanya membalasnya
dengan gelengan.
“Koe kui lho, setane ki Dik,” ucap Udin, setelahnya mereka kembali bertengkar.
Aku merebahkan tubuhku, beralaskan matras, dengan lipatan kedua tangan yang
menjadi bantal. Aku memejamkan mataku, matahari hanya tinggal seperempat lagi. Pikiranku
masih cemas, memikirkan Rino, mengapa perempuan itu mengikuti Rino? Jadi yang kulihat
tadi, bukanlah halusinasi belaka? Banyak sekali pertanyaan yang berputar mengelilingi
kepalaku, jika ini kartun, pasti di sekelilingku akan banyak burung-burung mengelilingi
kepalaku membawa papan yang bertuliskan isi pikiranku sejauh ini.
Suhu mulai menurun, suara jangkrik mulai terdengar jelas karena matahari sudah
menghilang, dan malam ini terasa sangat dingin. Rino belum juga kembali, yang otomatis kita
tidak bisa membuat bakaran karena tidak ada kayu. Padahal aku sudah berbalut tiga jaket, tetap
saja aku menggigil kedinginan.
“Rino iki ra balik-balik nyandi yo?” tanya Udin kebingungan.
“Ra ngerti,” jawab Dika
Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Udin, karena sejak tadi, aku memang
memikirkan ini. Hal yang aku takutkan sedari tadi sore. Kepalaku terus menoleh ke kanan dan
ke kiri, terus menunggu Rino datang. Berharap ia akan datang dengan selamat. Aku melihat ke
arah hutan, tempat tadi Rino pergi ke sana. Aku ingin menyusulnya, tetapi sinar kecil terlihat
dalam intra mataku. Lama-kelamaan, muncul Rino dari luar hutan membawa kayu, ia
mendekati ke tempat peristirahatan kami.
“Sue banget e No kamu, aku jadi khawatir sejak tadi,” ucapku
Rino tertawa kecil “Haha, sori yo, nek buat khawatir, iki wae aku tadi dibantuin le
nggolek kayu,”
“Dibantu sopo koe ki No? Emange eneng sek tinggal neng sekitar kene?” Tanya Dika
“Helleh, kepo temen koe Dik.”
Aku membantu Rino mengangkat kayu dan membuat api unggun kecil, untuk
menghangatkan tubuh. Aku terdiam, kepikiran dengan seseorang yang membantu Rino
mencari kayu, dia siapa? Apakah mungkin, yang membantu Rino, adalah perempuan yang
mengikuti Rino sejak tadi? Aku menjadi tak tenang, firasatku memang sudah buruk dari tadi.
Aku hanya memandangi wajah Rino, takut hal buruk akan terjadi padanya.
“Kenapa Din, lihat-lihat aku?” Tanya Rino dengan nada mengejek
Aku menggelengkan kepalaku dan terkekeh kecil.
Udin dan Dika berbaring berpelukan satu sama lain di dekat api unggun, mereka
terkadang akur, kadang ribut. Aku mendekati mereka
“Din, Dik, kalau tidur di dalam tenda saja,” ucapku
Mereka terbangun, wajahnya terlihat lelah, aku menjadi tidak enak telah
membangunkan mereka, toh tidur di dalam tenda lebih enak daripada harus di luar tenda?
Mereka beranjak masuk ke dalam tenda dan mendahului untuk tidur. Rino menoleh ke arahku.
“Koe ra ngantuk Din?”
“Urung,” jawabku
“Mlebu ae, neng kene akeh nyamuk,” ajak Rino
Aku mengangguk, dan masuk ke dalam tenda bersama Rino. Kami membangun 2 tenda,
Udin tidur bersama Dika, dan aku bersama dengan Rino. Aku dengannya berbaring di dalam
tenda, aku tentu masih memikirkan hal-hal aneh yang ku temui sejak tadi. Apakah aku harus
bertanya pada Rino? Waktunya tepat atau tidak ya kira-kira? Aku sangat penasaran, tetapi di
satu sisi lain, aku tidak enak pada Rino untuk menanyakan hal ini.
Aku menoleh ke samping, melihat punggung tubuh Rino yang membelakangi ku, aku
terduduk, mencoba untuk bertanya padanya.
“Rin.”
Tidak ada sahutan, aku mengintip melihat wajahnya, matanya terpejam, ternyata ia
sudah tidur. Tak apa lah, lagi pula dia sepertinya kelelahan habis mencari kayu tadi sore. Aku
kembali berbaring, mencoba mengubur pertanyaan yang hinggap di kepalaku agar bisa tidur
dengan nyenyak dan melanjutkan perjalanan di esok hari.
Hari semakin gelap, suara di dalam tenda di dominasi kan oleh suara jangkrik yang
bersahutan satu sama lain, ditambah juga suara seseorang yang sedang bergesekan dengan
tenda. Aku membuka mataku, bukan, tadi aku tidak tidur, hanya memejamkan mata dengan
pikiran yang masih berjalan. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Rino? Aku langsung
membalikkan badanku menghadapnya.
Kosong, tidak ada Rino di sampingku. Aku terduduk, melihat bayangan Rino berjalan
menjauhi tenda, aku segera keluar dari tenda dan mengikutinya dengan membawa senter di
tanganku sebagai pencahayaan. Ia memasuki hutan yang tadi sore digunakannya untuk mencari
kayu, aku kebingungan, kenapa Rino keluar dari tenda di malam hari seperti ini dan pergi ke
hutan? Bukannya tadi dia sudah tidur? Entahlah, pikiranku sudah kacau sejak tadi.
Aku melihat benda yang ada pada tanganku, sekarang sudah jam 24.00, tepat pada
tengah malam. Suara jangkrik semakin kencang terdengar di telingaku. Hawa aneh itu, kini
mengelilingiku kembali. Apakah mungkin, Rino pergi tengah malam seperti ini untuk menemui
perempuan aneh itu? Bisa saja kan? Aku sudah memiliki perasaan tidak enak setelah bertemu
dengan perempuan itu di toilet kemarin, dan ia menghilang begitu saja.
Rino berhenti, alhasil aku juga menghentikan langkahku, aku bersembunyi dibalik
pohon yang sangat besar, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Tapi siapa? Aku
memfokuskan penglihatanku dan melihat seseorang yang sedang bersama Rino. Mataku
membesar, setelah melihat yang bersama dengan Rino, ternyata perempuan yang kulihat tadi.
Sedang apa mereka? Berdua di tengah malam seperti ini? Mereka masuk ke dalam gubuk yang
berada pada tengah hutan itu. Pikiranku tidak tenang, APA YANG INGIN DILAKUKAN
RINO DENGANNYA?!! Aku mendekati gubuk itu, terkejut melihat Rino yang sedang
melakukan hal yang tidak senonoh itu, bersama dengan…
Perempuan itu.
ENDING