DETAK TAK BERTEPI
DETAK TAK BERTEPI
Muflih Nour Azizah
Setiap langkah yang kuhabiskan dalam perjalanan hidupku hanya tampak seperti bayangan kosong sejak kepergianmu. Aku terus bernafas, namun hanya karena diberi nyawa, takdir memaksaku melangkah maju. Dalam usahaku mencari keikhlasan, aku mengejar segala hal yang dapat mengisi pikiranku. Aku menapaki jalan baru, bersepeda tanpa henti, memukul bola golf dengan penuh semangat, menorehkan kata-kata dalam tulisan, bekerja tanpa kenal lelah, dan bahkan meninggalkan rumahku, memilih merantau ke Jakarta. Namun, dalam lubuk hatiku, rasa bersalah dan trauma masih melekat erat.
***
Sore ini aku memutuskan untuk melangkah mengitari rumah, menyerap setiap nuansa yang ada di sekitarku. Sudah dua bulan sejak keluargaku memutuskan untuk meninggalkan gemerlap kota Jogja dan menetap di Bandung, demi merawat kakek dan nenek yang renta. Keputusan ini membuatku harus beradaptasi dengan kehidupan baru di kota ini, setelah menghabiskan 16 tahun hidupku di Jogja yang penuh warna. Selama dua bulan ini, aku belum sempat benar-benar mengenal perumahan ini, karena kesibukanku dengan sekolah dan menyesuaikan diri di lingkungan baru. Namun, saat ini aku merasakan ketenangan yang memenuhi udara di sekitar.
Aku melanjutkan langkahku dengan kecepatan ringan, menikmati sejuknya udara di sekelilingku. Suasana di sini begitu damai, dengan pepohonan rindang yang masih mendominasi pemandangan. Tak hanya itu, orang-orang di sekitar juga begitu ramah. Hanya dalam waktu sepuluh menit berjalan, aku disambut dengan senyuman dan sapaan hangat dari banyak orang yang melintasiku. Sekitar dua ratus meter dari tempatku berada, terhampar sebuah lapangan basket yang sedang ramai dipenuhi dengan para pemuda yang bersemangat bermain bola basket. Sepertinya mereka adalah remaja-remaja sekitar lingkungan rumah ini.
Mataku tak bisa berpaling dari sosok laki-laki yang begitu lincah bermain bola basket. Seiring dengan rasa kagum, kejutan pun menyapu diriku ketika aku menyadari bahwa dia adalah tetanggaku sendiri. Selama ini, aku hanya melihatnya di sekolah tanpa tahu siapa namanya. Namun, saat ini, aku dihadapkan dengan ketampanan yang mengagumkan. Tubuhnya yang tinggi dan proporsional, gaya rambutnya yang dibelah tengah seperti opa-opa Korea, kulitnya yang putih, serta senyumnya yang begitu manis. Sejak pertama kali aku melihatnya di sekolah aku sudah tertarik dan kagum dengannya. Rasa sukaku semakin tinggi ketika mengetahui bahwa dia satu kompleks denganku.
***
Sudah hari senin saja, aku terburu-buru berangkat ke sekolah, agar tidak terlambat mengikuti upacara. Aku berangkat menggunakan motor sendiri. Di perjalanan terlihat ramai sekali, walaupun di sini kompleks kecil tapi sering sekali truk atau bis berlalulalang, sehingga membuat perjalanan agak sedikit terganggu. Membuatku merasa bosan, dan berpikir di mana rumah kak Rama. Iya aku sudah tahu nama kakak kelas yang membuatku memikirkanya setiap saat. Ramantha candra namanya keren sekali seperti orangnya.
Disela-sela pikiranku aku menengok ke arah kanan dan kiri , menemukan kak Rama yang sedang di depan rumah. Dunia seolah berhenti sejenak ketika mataku dan mata kak Rama saling bertemu, aku melemparkan senyum yang lebar kepadanya. Dalam hatiku merasa senang , akhirnya aku bisa mengetahui dimana rumah kak Rama.
Sejak hari itu, aku selalu melewati jalan itu dengan harapan bisa melihatmu, Kak Rama. Seperti kemarin sore, aku menjalankan rutinitas soreku dengan berjoging seperti biasa. Dengan sengaja, aku melewati depan rumahmu. Saat aku sedang fokus berlari kecil, tiba-tiba seekor anjing berbadan besar berwarna hitam yang terlihat galak mulai mengejarku dari belakang. Aku berusaha berlari secepat mungkin tanpa henti. Namun, semua usahaku terasa sia-sia ketika aku tersandung batu kecil yang tiba-tiba muncul di depanku. Tubuhku terjatuh dan mencium aspal. Rasa sakit melanda kakiku, membuatku tak mampu berdiri.
Saat aku terjatuh dan merasakan rasa sakit, anjing itu akhirnya berhenti mengejarku. Kemudian, seorang pria gagah dengan tubuh yang besar mendekatiku dan mengulurkan tangannya, menunjukkan keinginannya untuk membantuku. Aku menerima uluran tangannya, dan dalam keadaan kesakitan, aku menyadari bahwa pria itu adalah Kak Rama, sosok yang selama ini aku ingin lihat. Kak Rama membawaku ke teras rumahnya dengan penuh perhatian. Dia mengambil kotak obat dari dalam rumah dan dengan hati-hati mengobati luka-lukaku. Dalam hatiku, aku merasa ingin berteriak karena ketampanan Kak Rama terasa seribu kali lipat lebih menawan saat dia merawatku dengan begitu sopan dan perhatian.
“Maaf ya kamu jadi luka gini, anjingku memang begitu, suka mengejar orang. Padahal seingatku tadi sudahku rantai.” Ucap kak Rama dengan raut wajah khawatir.
“Iya tidak apa-apa kak.” Jawabku singkat.
“kamu penduduk baru ya? Aku baru lihat.”
“Iya kak, aku penduduk baru dari Bandung, salam kenal ya kak namaku Sasa.”
“Oke, namaku Ramantha, bisa di panggil Rama.”
Kak Rama sudah selesai mengobatiku, dia menawariku untuk diantarnya pulang.
“Ayo aku antar pulang?”
“Tidak usah kak, aku bisa pulang sendiri.”
“Yakin, kakimu aja sakit gitu.”
“Hehehe, iya juga sih kak. Nggakpapa memang, takut nanti ngrepotin kak Rama.”
“Gapapa, ayo aku antar saja, lagian kamu luka gini kan gara-gara anjingku.”
Kak Rama ternyata tidak sedingin seperti yang aku kira, dia sangat lucu menurutku. Karena kejadian itu, kami menjadi semakin dekat. Kak Rama sangat bertanggung jawab, begitu mengetahui bahwa kakiku terkilir, dia mencarikan tulang pijat untukku. Dia juga membelikan obat-obatan untuk merawat luka-lukaku. Bagaimana aku tidak tambah jatuh cinta jika dia begitu perhatian?
Kami saling menukar nomor telepon, dan yang mengejutkan, Kak Rama yang memintanya. Dia bilang jika ada apa-apa, aku bisa menghubungi nomor itu. Aku tidak percaya bahwa aku mendapatkan nomor telepon Kak Rama. Apakah ini hanya mimpi semalam? Aku bisa sedikit bermodus nih hehehe. Rasa cintaku padanya semakin bertambah seribu kali lipat ketika Kak Rama mengajakku berangkat sekolah bersamanya. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa sedekat ini dengan Kak Rama. Mungkin ini adalah hasil dari amal baik yang aku lakukan, sungguh tak terduga.
Padahal menurutku lukaku tidak terlalu parah, ya walaupun aku jadi tidak masuk sekolah 2 hari. Untuk mengucapkan rasa terimakasih ke kak Rama yang sudah sebaik itu, aku membuatkannya bekal sekolah. Aku bangun subuh, menyiapkan sarapan untuk kak Rama. Nasi goreng spesial buat orang spesial. Pagi ini aku di antar kak Rama, aku menunggu di teras sambil membawa sekotak bekal penuh cinta. Ia terlihat sangat tampan pagi ini menggunakan jaket kulit hitam dengan senyum yang lebar. Aku tersenyum ke arahnya sambil menyapanya.
“Selamat pagi kak Rama, ini sarapan spesial untuk kak Rama.” Sapaku sambil menyodorkan sekotak bekal.
“Terimakasih ya, jadi ngrepotin.”
“Nggak kak, aku malahan yang ngrepotin kak Rama, jadi harus nganter aku sekolah.”
“Gapapa, lagian sekolah kita kan sama. Ayo naik.”
“Oke siap aku naik.”
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah aku selalu mencari topik pembicaraan. Walau kelihatan sok asik tapi tidak apa-apa kapan lagi aku bisa ngobrol sedekat ini dengan kak Rama. Aku merasa nyambung ketika mengobrol dengan kak Rama. Mengobrol dengannya sangat menyenangkan. Rasanya aku ingin membuat perjalanan menuju ke sekolah semakin jauh agar bisa berbincang banyak dengan kak Rama.
***
Waktu terus berlalu tanpa terasa, aku dan Kak Rama sudah sangat dekat. Aku menyimpan perasaanku sendiri selama ini, takut jika mengungkapkannya akan membuat hubungan kami menjadi canggung. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Kak Rama, dan aku khawatir bahwa dia hanya menganggapku sebagai adiknya sendiri. Meskipun begitu, aku merasa nyaman dengan hubungan kami saat ini. Bagi aku, bisa dekat dengan Kak Rama saja sudah merupakan suatu kebahagiaan.
Pagi ini, aku memiliki janji dengan Kak Rama. Dia mengajakku untuk bersepeda keliling Bandung dan kemudian sarapan bubur ayam, makanan favorit kita. Meskipun hanya sarapan pagi bersama, kami sering menghabiskan waktu bersama seperti ini, dan aku sangat menikmatinya.
“Woi bocil, ngapain nglamun sendiri kayak orang ilang.”
“Nungguin elu kali.”
“Yaudah ayo keburu panas nih.”
“Lah Kak Rama yang datangnya lama kali.”
“Yaudah maaf deh Sasa cantik.”
Kami bersepeda mengelilingi kota Bandung, menikmati pemandangan indah dan udara yang sejuk. Aku sangat menyukai suasana seperti ini. Dalam hatiku, aku berharap bisa tinggal di Bandung bersama Kak Rama sampai tua, meskipun itu tergantung pada keinginan Kak Rama juga, tentunya hehehe. Setelah bersepeda selama lebih dari satu jam, kami berhenti sejenak untuk menikmati sarapan.
“Pak pesen bubur ayam 2 ya, yang satu ga pake sayur sama bawang goreng.”
Kak Rama selalu memperhatikan hal-hal kecil tentang apa yang aku suka dan apa yang aku tidak suka, kak Rama selalu ingat akan hal itu. Membuatku merasa di hargai dan tambah cinta sama kak Rama.
“Tumben pake sepatu itu, katanya gak nyaman kalau sepedaan pake itu?” Tanyaku kepada kak Rama yang memakai sepatu warna putih bergaris tiga biru.
“Aku memakai ini buat terakhir kalinya Sa.”
“Kenapa terakhir kali kan kita bakal sepedaan lagi lain kali.”
Belum sempat kak Rama menjawab pertanyaanku tiba-tiba datang dua mangkok bubur ayam yang sudah siap di santap. Jadi pertanyaanku tadi terlupakan. Kami sangat menikmati bubur ini. Setelah selesai sarapan kami segera pulang.
Jalanan dipenuhi dengan kepadatan yang luar biasa. Hari Minggu ini, bus-bus wisatawan dan truk-truk dengan muatan besar memenuhi jalan. Aku merasa sangat lelah untuk terus mengayuh sepeda, sehingga konsentrasiku sedikit terganggu. Namun, Kak Rama yang berada di belakangku tetap terlihat segar dan penuh semangat saat mengayuh pedal sepedanya. Jalan terasa semakin macet dari arah kiri, dengan truk dan bus saling menyalip tanpa memperhatikan jarak di antara kendaraan sebelah kiri dan kanan. Keadaan ini menciptakan suasana yang menegangkan di sekitar kami.
Dalam kekacauan lalu lintas yang padat, terdengar suara klakson yang menggema saat truk dan mobil berlomba-lomba untuk mencapai tujuan mereka. Tanpa peringatan, sebuah truk bermuatan kayu dengan gegabah menyalip dari arah kiri tanpa memperhitungkan jarak dengan kendaraan di sebelah kanan. Aku yang sedang tidak fokus pada situasi sekitar, tidak menyadari bahaya yang mengintai. Tiba-tiba, terdengar suara brak yang menghancurkan hati.
Truk itu dengan kejam menabrak tubuh Kak Rama, melindasnya tanpa ampun di tengah jalan. Aku terkejut dan terpaku, teriakan histeris keluar dari mulutku sambil menangis melihat kejadian mengerikan ini dengan mata yang terbelalak. Kak Rama, pahlawan sejati, telah menyelamatkanku dengan mendorongku ke tepi jalan saat truk itu hendak menabrakku, mengorbankan nyawanya untuk melindungiku. Rasa bersalah memenuhi hatiku, bertanya-tanya mengapa aku tidak bisa lebih fokus dan mengambil langkah-langkah yang tepat.
Pagi ini, Kak Rama telah dikebumikan dengan penuh kesedihan. Aku masih sulit mempercayai bahwa Kak Rama benar-benar pergi untuk selamanya, terlebih lagi karena ia mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkanku. Kejadian tragis ini telah menghancurkan nafsu makanku dan membuatku terus-menerus merasa sedih. Rasa bersalah yang mendalam masih menghantuiku hingga saat ini, mengingat bahwa semua ini terjadi karena kelalaianku yang menyebabkan kecelakaan tersebut.
***
Pemandangan kota Jakarta yang memukau terhampar di hadapanku dari ketinggian gedung ini. Meski malam ini aku harus lembur, menyisakanku sendirian di ruangan kerjaku. Malam ini aku menikmati hujan yang sedang turun, aku masih melanjutkan perjalanan hidupku hingga saat ini. Duduk dengan perasaan bersalah, mengingatkanku pada kejadian tujuh tahun yang lalu. Namun, hari ini aku bertekad untuk mengikhlaskan segalanya. Dalam dua minggu, aku akan menikah dengan seorang pria yang mau menerima masa laluku. Dalam keadaan berani, aku membuka laci kerjaku dan mengambil sepucuk surat yang selama ini tak pernahku buka. Surat itu berasal dari Kak Rama, ibunya yang menemukannya dan memberikannya padaku. Malam ini, dengan penuh keberanian, aku membuka surat itu untuk pertama kalinya.
Bandung,11 Desember 2020
Untuk Sasa
Lain kali ada kesempatan, aku akan dengan senang hati menghabiskan waktu bersamamu seperti menjelajahi taman yang indah. Suasana tenang dan cuaca yang cerah akan menemani perjalanan kita, meskipun tujuan akhirnya masih samar, aku yakin kita akan menemukannya di depan sana. Yang terpenting, aku akan selalu ada di sampingmu, menghabiskan waktu dengan penuh cinta dan perlahan.
Dari Ramantha tetanggamu yang diam-diam suka kamu.
Air mataku tak terbendung, detak jantungku berpacu tanpa henti. Selama ini, aku terperangkap dalam kesalahpahaman bahwa cintaku kepada Kak Rama takkan pernah terbalas, bahwa dia hanya melihatku sebagai adiknya sendiri. Namun, aku keliru. Kak Rama telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku, takkan pernah terlupakan. Dia memiliki tempat istimewa di lubuk hatiku. Cintaku padanya akan terus berkobar, selalu dan selamanya.